Thursday 26 November 2015

Sakit, Kau Pun Tak Peduli...

PEMBENGKAKAN darah di kepala, sakit liver, dan jantung yang kuderita hingga membuat aku tidak boleh kecapekan tak pernah kau pedulikan. Kelelahan ketika pulang kerja selalu kau sambut dengan tuntutan ekonomi, tuntutan membeli barang ini itu, tuntutan harus begini dan begitu, selalu saja kutahan dengan diam.
Lama kelamaan, sakitku itu sering kambuh. Tapi, aku tak memutuskan untuk berobat, apalagi periksa ke dokter. Aku hanya diam, kalaupun terasa sakit, hanya kuobati dengan obat generik yang harganya sangat murah. Dibawah Rp 10 ribu.


Vonis dokter lah kuketahui aku memiliki penyakit itu. Uang bonus dari seorang teman, kupakai untuk periksa ke laborat. Cukup mengagetkanku. Tapi, apa mau dikata. Penghasilan yang hanya cukup untuk makan dan hidup sehari-hari tak mampu mengantarkan aku untuk berobat.
Konsekuensinya, ketika kecapekan, aku pasti ambruk tak berdaya. Kantorku tempat bekerja pun ketika mendapat laporan aku sedang sakit, tak pernah memberi perhatian. Sama dengan istriku. Ketika aku mengeluh kesakitan, ia ganti mengeluh sakit.
Kepala pun semakin sakit, bahkan ketika menulis tulisan ini. Untuk melihat tulisan saja berbayang. Tapi, kutetap menulis. Kacamata minus 3,5 tak mampu membantu. Dan aku, tetap saja menulis, agar pikiran dan hati ini tercurahkan.
Yang selalu ada dalam pikiranku, ketika aku tak bisa menahan rasa sakit ini, hanyalah kematian. Kuingin mati yang tidak merepotkan istriku. Aku ingin, istriku tahu beberapa saat setelah aku dimakamkan. Aku tidak ingin istriku repot atau kaget. Karena, ia tak pernah peduli dengan sakitku ini.
Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah...

No comments:

Post a Comment