Wednesday 9 December 2015

Ceraikan Saja Aku...

HALILINTAR tak selalu datang pada malam, pagi, siang, sore, maupun ketika hujan turun rintik-rintik atau hujan deras sekalipun. Halilintar itu bisa datang kapan saja.
Dan, halilintar itu adalah istriku. Ketika kemarahannya tak terkendali, datang ketika persoalan sangat sepele yang seharusnya bisa ia kerjakan tanpa suami, harus marah luarbiasa. Segala yang ada disekitarnya bisa berhamburan. Teriakannya bagai petir yang menyambarku dan membuatku gosong tak berdaya.

Keberadaannku seolah tak ada. Ia tak lagi menghormatiku. Ia tak lagi menganggapku sebagai seorang suami. 
Untuk melawannya secara fisik, sebenarnya bisa saja kulakukan. Seperti kemarin malam. 
Tinggal di kampung, tentu aku harus bersosialisasi dengan tetangga. Tidak terus-terusan di dalam rumah. Saat itu, setelah lama tidak bercengkerama dengan tetangga, setelah makan malam dengan istriku di warung, aku pun keluar rumah dan berkumpul dengan tetangga. Tetapi, apa yang terjadi. Belum usai berbincang dengan para tetangga, tak ada angin, tak ada badai. Ia mengancam untuk menjerit dan memintaku pulang.
Kasur, bantal, perabotan rumah tangga sudah kocar-kacir. 
Ketika kumasuk ke dalam rumah. Tempelengan tangan yang keras berkali-kali hinggap di tubuhku. Leherku pun dicekiknya hingga terluka.
Ingin kumelawan dan membalasnya, tapi kuurungkan. Kubiarkan dia melakukannnya. 
Dan, peristiwa ini tidak saja terjadi kemarin malam, tetapi sudah berulang berkali-kali.
Malam ini, karena aku harus dinas ke luar kota, aku belum sempat memberinya kabar. Tiba-tiba, telponku berdering. Ternyata dari istriku. Tanpa basa basi, untuk kesekian kalinya, ia meminta untuk bercerai. Aku tak bisa berkata-kata. Karena, saat itu, aku sedang perjalanan pulang. Posisi dudukku di tengah teman-teman se profesi di dalam mobil. Untuk berkata, tentu aku tidak bisa. Aku hanya diam mendengar "ocehannya".
Berulang, dan berulang lagi kejadian ini. Ketika marah, aku selalu takut. Karena, sikapnya seperti orang gila, orang tidak waras. Ia pun mengaku, tak akan malu jika keluargaku menganggapnya gila.
Tugas sebagai suami yang sudah kuupayakan sekuat dan semampu ini, tidak pernah dihargainya. Aku seperti bukan suaminya. Penghasilan yang pas-pasan tidak bisa sebanding untuk menuruti tuntutannya, keluhannya yang setiap saat selalu muncul.
Jika memang dia minta cerai, mengapa tidak kau ceraikan saja aku? 
Jujur, untuk berkata cerai, aku tak bisa. Karena, aku ingin menjaga pernikahan ini sampai akhir hayat meski kami tidak dikaruniai anak. Penghasilan yang seperti ini, bisa membayar kontrakan, bisa membeli beras, bisa makan setiap hari sudah cukup. Membeli keinginan-keinginannya pun pasti kuusuahakan meski harus menunggu waktu untuk menabung terlebih dahulu atau menanti rejeki lain yang halal.
Dan, malam ini, kmebali kusujudkan kepala ini hanya kepada Allah Swt. Selalu kupasrahkan kepada-Nya. 
Ya Allah, berikan jalan dan petunjuk yang terbaik. Hamba sudah berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menjadi seorang suami yang selalu menjalankan sunnah-Mu. Berikan jalan terang untuk aku dan istriku. 
Ya Allah, ampunilah segala kesalahanku, segala dosa-dosaku. 

No comments:

Post a Comment