Sunday 13 September 2015

Tuntutan Seorang Istri...

"Mas itu suami yang tidak bisa menjadi imam."
"Mas itu suami yang tidak bisa memberi nafkah kepada keluarga, lihat itu, farid sudah sukses. Bisa membeli mobil, punya rumah. Kalau mudik ke mertua bawa mobil, tidak kehujanan seperti ini."
"Setelah aku cerita ke Ibu tentang kondisi kita, Ibu bilang begini : kamu pulang saja kerumah. Aku akan memintamu pulang dan ceraikan saja suamimu. Ibu akan merawatmu lagi, menyekolahkanmu lagi."
"Usaha Farid sukses, sementara Mas tidak."
"Kalau begini terus, sebaiknya kita pisah. Kita Cerai."


"Katanya kerja, tapi hasilnya mana?"
"Punya kendaraan saja bekas, hampir aku ditabrak truk. Apa mau membunuhku dengan sepeda motor bututmu itu Mas?"
"Bagaimana mau bayar pajak, buat makan saja tidak ada uang,"
"Kerja pulang selalu malam, tetapi tidak punya uang. Idealisme itu apa, buang jauh-jauh. Begini akibatnya kalau mebesar-besarkan idealisme. Itu, temanmu selalu menerima tips, ia bisa membeli rumah dan mobil. Sementara kita hanya bisa kos. Suami istri itu tinggalnya di rumah, bukan di kos-kosan."
"Aku butuh uang untuk biaya pengobatan. Kalau uang tidak ada, lalu bagaimana?"
"Menjadi suami itu yang cerdas mencari uang. Cari sambilan, bukan idealisme yang diandalkan."
"12 Tahun belum punya anak. Usaha Mas tidak maksimal gara-gara tidak punya penghasilan besar. Bagaimana mau punya anak?"

ADA banyak kata-kata lain yang selalu muncul dari mulut istriku yang tipis itu setiap hari. Kata-kata yang selalu diulang, kata-kata yang selalu menghujam langsung dan membuatku menjadi seorang suami yang memilih diam seribu bahasa.
Pekerjaan yang kupilih sejak aku masih duduk di bangku kuliah adalah pekerjaan yang berawal dari hobby dan sampai hari ini pun, tetap kuanggap hobby. Hobby yang kujalani dengan sepenuh hati dan tetap menjaga idealisme. Tidak seperti teman-temanku yang memilih tidak idealis. Menerima tips dari sana dan sini.
Ya, itulah aku. Lelaki berusia 37 tahun yang hingga kini menjadi seorang suami. 12 tahun usia pernikahanku yang belum dikaruniai anak karena istriku mengalami gangguan di saluran rahimnya membuat aku hanya selalu pasrah kepada Sang Pencipta. Usaha dan ikhtiar terus kulakukan. Dengan uang pas-pasan yang kumiliki, tentu pengobatan yang murah menjadi pilihan. Dan hal itu membuat istriku merasa aku tidak perhatian, tidak fokus, dan selalu menyalahkan aku.
Penghasilan yang kurasa sudah cukup untuk hidup berdua di kos-kosan, membuatnya selalu merasa kekurangan. Untuk membayar angsuran motor yang dia inginkan dan membayar kos setiap bulannya, otomatis, sisa gajiku hanya cukup untuk hidup sangat sederhana. Setiap hari, aku hanya membeli makan sekali saja. Dan, aku selalu menahan lapar dan tidak mengonsumsi makanan bergizi, apalagi sehat.
Hingga vonis dokter atas sakitku kuterima dengan lapang dada. Untuk berobat, jelas, butuh biaya yang besar. Aku pun fokus untuk mengobati istriku. Setiap bulan, juga kurogoh dompetku untuk terapi ke dokter. Jika gajiku kurang dari Rp 2 juta, Anda tentu bisa membayangkan bagaimana menjalani hidup seperti ini. Tentu, aku sudah sangat bersyukur. Tidak tinggal di kolong jembatan. Rasa syukur itu kuwujudkan dengan menerima hidup dan menjalaninya dengan ikhlas.
Tetapi, teriakan demi teriakan, tuntutan demi tuntutan dari istri inilah yang membuatku harus menulis di blog ini. Aku harus mencurahkannya disini agar penyakit liverku tak kambuh dan semakin akut. Setidaknya, setelah mencurahkannya disini, aku bisa sedikit lega dan bisa berfikir. Tidak dihantui ratusan hingga ribuan tuntutan dan teriakan itu.
Gaji istriku yang lebih besar, selalu dia habiskkan sendiri. Ya, gaji sitri adalah gaji istri. Gaji suami ya untuk istri. Sampai detik ini, beginilah kehidupanku. Berjalan apa adanya, dan aku tetap memilih diam ketika teriakan teriakan itu menggema di dalam kamar kos maupun tertulis dalam monitor handphone yang dikirim istriku. Allahu Akbar... La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim....

No comments:

Post a Comment